Tuesday, October 09, 2007

Dicari: Pahlawan Sejati
(Will be published, Eve Magazine, November 2007)


Bicara soal makna pahlawan dan kedaulatan kadang menjadi kegiatan nostalgia belaka. Kita sudah tak perlu lagi mengusung bambu runcing dan meneriakkan pekik “Merdeka!” sambil mengacungkan kepal ke udara. “Pahlawan” dan “perang” cuma kita asosiasikan dengan kematian fisik, peperangan fisik, dan sesosok musuh bersama. Sesuatu yang rasanya tak lagi relevan dengan kondisi kita sekarang, dan juga banyak tempat di dunia.

Puluhan ribu pahlawan telah mati untuk bangsa ini, dan ada jutaan orang di seluruh dunia yang menyandang status pahlawan karena mereka telah mati untuk membela sesuatu. Namun, jika kita benar-benar jujur, pernahkah perdamaian sejati terwujud di muka Bumi? Pada level intelektual, kita mampu merumuskan perdamaian, menyusun klasifikasi seorang pahlawan, bahkan mempabrikasi konsep kemerdekaan. Namun pada level mental, jika kita benar-benar jujur, pernahkah perdamaian sejati terwujud dalam batin kita? Ada satu perang yang sudah ada sejak manusia ada, Bharatayuda yang sesungguhnya, yakni perang melawan diri sendiri.

Setiap saat kita memasuki ajang pertempuran. Saat kita membuka majalah atau nonton teve, kita digempur dengan berbagai potensi perang batin. Waktu kita melihat sesuatu yang kita suka atau tak suka, kita berkonflik antara mengejar dan menolak. Perempuan yang merasa terancam oleh keriput lantas berperang melawan penuaan dengan serum dan botox. Perempuan yang percaya bahwa lebih putih berarti lebih cantik akan berperang melawan melaninnya dengan krim pemutih. Melihat mereka yang lebih sukses dan lebih berpengaruh, kita lantas bertempur dengan keinginan dan hasrat untuk ikut lebih. Setiap hari kita dijajah oleh keinginan baru, harapan baru, dan timbullah konflik baru. Lalu, siapakah pahlawan yang kita harapkan untuk perang tak berkesudahan ini?

Menyimak film-film superhero, saya memperhatikan bahwa masyarakat dalam film-film itu digambarkan menaruh harapan tunggal mereka pada sang pahlawan, entah itu Batman, Superman, atau Spiderman. Begitu ada kejahatan merangsak, mendadak polisi lemah, tentara terlambat datang, dan semua orang pun berharap cemas menanti superhero muncul.

Dalam kehidupan nyata, cerminan itu pun tak jauh berbeda. Tak heran konsep seperti Ratu Adil atau Ksatria Piningit selalu laku, karena kita cenderung berharap ada tangan lain yang menyelesaikan masalah kita. Kita menaruh harap pada PBB, pemerintah, parpol, dan tokoh-tokoh besar untuk menyelesaikan problem dunia. Dalam interaksi pribadi pun demikian, kita berharap kitalah yang dimengerti, dipahami, agar problem selesai dengan sendirinya.

Namun, pernahkah kita merenungi, bahwa di jantung sebuah konsep besar bernama bangsa, suku, ras, agama, yang bersemayam sesungguhnya adalah individu-individu? Dan pada seorang individu, jika dilucuti satu per satu, kita akan bertemu dengan motor penggerak bernama ego? Ketika terjadi peperangan di mana pun, atas nama apa pun, sesungguhnya kita tengah menyaksikan peperangan antar ego, antar ‘aku’ yang masing-masing merasa paling penting.

Ribuan tahun sudah manusia diatur oleh aneka sistem moralitas, tapi perdamaian sejati—baik di muka Bumi maupun di dalam batin—tak pernah terwujud. Sejak kecil saya diberi tahu bahwa bangsa Indonesia terkenal rukun karena toleransi. Namun jika kita tilik ulang, toleransi yang kita kenal adalah: aku menghargai kamu selama kamu tidak mengganggu aku. Kita tidak dibiasakan untuk apresiasi, yakni: aku menghargai kamu apa adanya. Perdamaian yang kita kenal adalah perdamaian yang berbasiskan toleransi, bukan apreasiasi. Perdamaian toleransi adalah perdamaian yang rapuh, karena diberlakukan syarat di sana. Saat syarat itu disinggung, si ‘aku’ disinggung, perdamaian pun luruh seketika.

Begitu jugalah kita kerap memberlakukan diri kita sendiri. Menerima diri apa adanya merupakan pekerjaan yang sangat sulit. Kita memberlakukan banyak syarat bagi diri kita: ‘saya baru menyukai diri saya kalau ukuran tubuh saya sekian’, ‘saya baru pede kalau saya naik mobil merk anu’ dan daftar syarat ini seolah tak ada ujungnya. Setiap hari kita menambah daftar baru. Setiap hari kita berperang dan bersitegang. Dan dalam perang yang satu ini, tak ada superhero yang akan datang dari balik awan untuk menyelesaikan konflik kita. Tidak ada siapa-siapa di sana, selain diri kita sendiri.

Inilah perang paling relevan dan selalu relevan dari ke zaman ke zaman. Inilah ibu dari segala konflik yang ada di muka Bumi. Namun seringkali kita luput melihat hubungan antar ‘aku’ yang di dalam dengan ‘aku’ yang ada di luar, sehingga kita cenderung berpangku tangan dan terbuai dalam ketidakberdayaan kita. Kita sibuk mengutak-atik ‘aku’ yang di luar tanpa membereskan ‘aku’ yang di dalam—sumber konflik yang sesungguhnya.

Seorang pahlawan sejati dibutuhkan di sini. Seorang pahlawan yang berani masuk ke dalam batin untuk menyingkap egonya sendiri. Seorang pahlawan yang berani ‘mati’ demi perdamaian sejati. Seorang pahlawan yang mau sejenak melangkah mundur dari jerat konflik eksternal dan memasuki arena pertempuran yang sesungguhnya. Dan pahlawan ini akan bertempur tanpa imbalan jasa dan pengakuan apa-apa. Tidak ada siapa-siapa di sana. Namun inilah pertempuran yang paling riil, tepat di bawah hidung kita sendiri tanpa disadari.

Pada Hari Pahlawan, selalu kita diimbau untuk sejenak mengheningkan cipta. Pada hari ini, maukah kita sejenak duduk diam, mengheningkan cipta, dan melihat peperangan di dalam batin? Maukah kita turun tangan dan menjadi pahlawan bagi diri kita sendiri? Ataukah kita kembali melihat ke balik awan, menunggu sang pahlawan yang tak kunjung tiba…